Memetik hikmah kisah fatwa
Alkisah, seorang guru suci baru pulang menyepi. Sepuluh tahun lamanya berpisah dari keramaian. Dalam kesendirian, sempat dilihatnya seribu bunga mekar sempat ia berendam di sungai yang hening dan purba. Dalam kesendirian ia rasakan puncak-puncak kebahagiaan, dan dialaminya pula puncak penderitaan ketika kesepian mencekam sangat dalam dan maut seolah tengah mengintai. Puncak pengalaman batin ini membuatnya menemukan kearifan yang asli dari sumber hidup yang utama. Di kampung halaman, murid-muridnya menyambut. "Guru, ajarkan kami kearifan yang kau dapat, kami butuh mendengar". Sang guru berkata "anakku ilmu bisa diajarkan, namun kearifan tidak. Kalian harus menemukannya sendiri". Murid-murid tetap memaksa, "ajarkan kami kami guru, walau seayat, kami butuh pedoman". Dengan lembut, sang guru berkisah "sebenarnya anakku, sumber kearifan itu tidaklah mempunyai kata. Dengan cara apa aku harus menyampaikannya padamu. Kata-kata tak cukup kuat untuk menyalurkan seluruh makna. Sekali sebuah perasaan kuungkapkan, lebih banyak lagi yang kembali tersimpan dan tak ternyatakan. Namun karena kalian menuntut kusampaikan juga kebenaran itu. Asalkan disadari, untuk menyentuh sumbernya kalian harus menemukannya dengan pengalaman kalian sendiri". Sang guru pun kemudian berfatwa: "bla...bla....bla.....". Murid-murid mendengarkan fatwa itu, mereka mencatatnya dengan tekun dibukukan dan dibakukan. Diajarkan turun menurun sebagai fatwa suci Ratusan tahun kemudian, cucu-cucu mereka berperang satu sama lain karena berbeda dalam memahami fatwa suci itu. Mereka saling membenarkan diri, dan saling menyalahkan. Nun jauh di sana, di surga, sang guru menangis menyesali mengapa ia menurunkan fatwa Manusia cenderung menangkap abu bukan apinya tak dapat menyelami di balik kata tak menyadari bahwa sumber kearifan tidak berbentuk kata.